Rabu, Maret 8

TENTANG RINDU

Siapa yang tak kenal rindu? Ah, pastilah semua pernah merasakannya.

Entah rindu kepada orang tua, kampung halaman, udara yang sejuk, rumah, atau apalah.

Rindu adalah aktivitas hati. Ia ada karena fitrah. Fitrah yang terpancar dari gharizah nau' alias naluri berkasih sayang yang Allah SWT ciptakan pada setiap insan manusia.

Rindu boleh kepada siapa saja, selama dibenarkan syariat.

------------

Adapun merindu, maka ia terbagi menjadi 2, yaitu merindu yang pasti dan merindu yang tidak pasti.

Semua tidak akan dibahas di sini. Saya mengambil satu sisi saja tentang rindu, yaitu merindu yang tidak pasti. Karena rindu jenis ini banyak sekali yang mengalami.

Merindu yang tidak pasti terbagi lagi menjadi 2; Ada yang boleh dan ada yang tidak boleh.

Sebagai contoh;
Pertama, merindukan si dia yang belum halal bagimu.

Kedua, merindukan bulan suci yang penuh berkah dan ampunan.

Merindu yang pertama, kenapa tidak pasti?
Ya karena belum tentu si dia adalah jodohmu .

Merindu yang kedua kenapa tidak pasti?
Karena batas usia tidak ada yang tau. Mana tahu esok hari nafas telah luput dari diri. Bahkan detik berikutnya nyawa tak lagi membersamai tidak ada yang bisa memastikan. Maka, belum pastilah kita bisa bertemu dengannya lagi.

Merindu yang tidak pasti mana yang boleh dan mana yang tidak boleh?

Contoh yang pertama jelas tidak boleh. Sedangkan yang kedua sangat dibolehkan. Kenapa? Bisa dicari sendiri!

Nah, karena contoh yang kedua dibolehkan, maka rindulah serindu-rindunya. InsyaAllah 79 hari lagi ia akan tiba. Sedangkan kita tidak mampu menangguhkan waktu untuk terus melihat dunia.

Mohonlah kepada Sang Pemilik nyawa diri untuk dipertemukan lagi dengannya. Jikapun Dia takdirkan kita untuk tidak bertemu dengannya lagi, setidaknya kita telah merindukannya. Dan yang paling penting adalah kita tidak salah dalam menempatkan rindu.

Dan jangan lupa untuk merindukan kampung akhirat. Tempat rehat yang abadi. Karena dunia hanyalah tempat untuk mendaki ujian-ujian kehidupan, yang kan menentukan buah tangan yang dipersembahkan.

Samarinda, 10 Jumadil Akhir 1438H - 9/3/17, 00.11

RWijaya

Senin, Maret 6

BAHAGIA

Harta adalah kebahagiaan, menurut sebagian orang.
Bahagia adalah jika mendapatkan harta baru. Mendapatkan barang baru. Atau yang sejenisnya.

Terlebih jika barang itu adalah kado alias pemberian sang terkasih. Entah itu adalah suaminya, isterinya, anaknya, atau mungkin sahabatnya.

Hati serasa berbunga. Kecintaan bertambah. Begitulah Allah kabarkan melalui lisan Nabi Shollallahu 'alayhi wa sallam bahwa saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai (HR. Bukhari)

Namun, sering kali terjadi kekeliruan dalam memaknai bahagia, khususnya bagi para orang tua. Bahagia
Menurut mereka adalah ketika sang buah hati telah tumbuh dewasa dan sukses dalam hal karirnya. Yang kemudian mampu mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang berefek pada mudahnya sang buah hati membelikan barang ini dan itu. Kesimpulannya, "anak saya sukses membahagiakan saya!"

Tidak salah memang. Karena telah nyata bertambah kecintaan ketika hadiah diberikan, sesuai yang dikisahkan Rasulullah.

Hanya saja, mengukur kebahagiaan dengan standar harta saja tidaklah cukup. Orang tua seharusnya bahagia tatkala sang buah hati tumbuh dewasa dalam dekapan ilmu dan amal Islam. Menjadi anak yang sholih dan sholihah yang akan mengantarkan orang tua kepada kebahagiaan hakiki, yakni jannah.

Orang tua seharusnya bersedih bahkan was-was jika sang buah hati jauh dari hukum syara'. Terperosok dalam lubang kemaksiatan. Karena setiap langkah kaki sang anak yang tidak sesuai hukum syara' akan mendekatkan orang tua ke tempat yang tidak diinginkan setiap manusia, yaitu neraka.

Harta bisa dibeli. Namun keimanan tidak. Keimanan yang hakiki tak akan mampu dibeli dengan uang berapapun. Keimanan yang kokoh takkan mampu tergantikan oleh nikmat harta yang dititipkan.

Surga. Surga pun tak mampu dibeli dengan harta benda yang mewah dan mahal sekalipun. Ia hanya bisa dibeli dengan keimanan dan ketakwaan yang melahirkan keridhoan Sang Pemilik surga.

Begitulah bahagia. Ia tidak cukup hanya di ukur dengan harta. Namun, keimanan dan ketakwaan adalah yang utama d terutama. InsyaAllah, jika standarnya adalah keimanan, harta pas-pasan pun tidak menjadi suatu persoalan yang berarti. Wallahu a'lam.

Samarinda, 07/03/17, 11.57
-RWijaya-

Minggu, Maret 5

Prahara Dibalik Masuknya Pemikiran Asing

Oleh: RWijaya (Anggota Tim Kontak Aktivis MHTI Chapter Kampus Samarinda)

Tatkala islam memayungi sepertiga belahan dunia selama kurang lebih 14 abad, rakyat yang ada di bawah naungannya mendapatkan keteduhan yang menentramkan. Umat Islam berada pada frekuensi kekuatan yg satu. Tak ada yang mampu meruntuhkan benteng kekuatan kaum muslim, sebab kekuatan mereka dibangun dengan bangunan keimanan yang kokoh. Dan Tak ada yang mampu membedakan satu dengan yang lainnya kecuali ketakwaan yang mengalir bersama aliran darah kaum muslimin.

Namun, lambat laun payung yang berdiri kokoh menaungi umat itu mulai rapuh. Ranting-ranting yang menopang atapnya mulai diserang oleh racun-racun pemikiran yang menyisakan luka-luka yang sulit disembuhkan. Luka yang berbisa. Lebih ampuh untuk mematikan denyut perjuangan para pemuda pejuang islam dibandingkan luka yang menyayat saat berlaga di medan jihad fii sabilillah.
Racun-racun pemikiran yang telah merebak di tengah-tengah ummat, menjadi wabah yang kian menjamur dari masa ke masa. Para penjajah terus bergerak. Hingga kesakitan yang melanda ummat tak mampu dibendung, ditandai dengan runtuhnya institusi yang memayungi ummat. Meskipun ummat masih mencoba menelan pil-pil yang mampu mendatangkan kesembuhan, namun ummat tetap gagal. Ummat semakin tercerai berai, sakit parah.. Tersekat oleh dinding-dinding nasionalisme, yang memudarkan ikatan akidah Islam yang mulia.

Begitulah adanya. Tsaqofah asing (baca: racun pemikiran barat) berpengaruh besar terhadap menguatnya cengkeraman kekufuran dan penjajahan. Pengaruhnya mengikat ummat, sehingga ummat merasa bergantung padanya. Mempengaruhi perjalanan hidup ummat. Menjadi penentu arah ummat dalam bersikap dan berperilaku
Melalui tsaqofahnya yang rusak dan merusak para penjajah merancang sistem pendidikan yang memancarkan pandangan hidup mereka, yaitu sekularisme alias pemisahan agama dari kehidupan. Dengan tsaqofah bobrok yang mereka tanamkan pada pemikiran-pemikiran kaum muslim, mereka berhasil merenggut kepribadian ummat islam. Anak-anak didik kaum muslim semakin jauh dari pemikiran islam yang seharusnya menjadi sandaran dan idealismenya.

Gambaran tentang sejarah, fakta dan lingkungan yang berasal dari barat mengisi akal-akal generasi muslim. Seolah-olah, barat adalah satu-satunya peradaban yang mengisi segala lini kehidupan di dunia. Dan generasi muslim menelannya mentah-mentah. Hingga penjajahan dirasakan sebagai sesuatu yang mulia dan layak dijadikan sebagai kebanggaan. Akibat adanya penjajahan banyak hal yang patut "disyukuri". Sungguh ini pemikiran yang sangat dangkal dan jahil.

Begitulah pengaruh pendidikan sekuler. Yang menjadikan tsaqofah asing sebagai pelurunya. Generasi Islam terdidik oleh pemikiran yang bukan pemikiran asli mereka. Mereka dipaksa untuk berpikir sebagaimana orang lain berpikir. Sehingga, gambaran tentang kebangkitan kabur di pandangan matanya, bahkan lenyap sama sekali dari benaknya. Wallahu a'lam bi ash-showwab []

*Referensi:
1. Kitab At- Takattul Hizbiy karya Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani

2. Politik Partai (Strategi Baru Perjuangan Partai Politik Islam) karya Muhammad Hawari